Jakarta, Ditjen Diksi 2025 – Dalam rangka menyambut peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI) 2025, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, Pendidikan Khusus, dan Pendidikan Layanan Khusus (Ditjen Diksi PKPLK) menegaskan komitmennya menghadirkan Pendidikan Bermutu untuk Semua melalui penguatan pendidikan inklusif. Komitmen tersebut disampaikan Direktur Jenderal Diksi PKPLK, Tatang Muttaqin, dalam kegiatan Coffee Morning bersama media di Sunyi Coffee, Jakarta, Jumat (28/11). Sunyi Coffee menjadi tempat istimewa dalam menyambut HDI, mengingat barista di kafe tersebut adalah para tunarungu.
Tatang menekankan pentingnya memperkuat sistem pendidikan inklusif, mulai dari proses identifikasi hingga intervensi. Ia menegaskan bahwa tujuan utama pemerintah adalah memastikan layanan inklusif menjangkau seluruh anak dengan kebutuhan khusus. “Yang paling penting adalah bagaimana kita bisa melakukan identifikasi yang tepat. Identifikasi yang baik akan langsung berdampak pada intervensi yang lebih efektif sehingga perkembangan anak dapat dipercepat,” ujarnya di kedai kopi yang seluruh karyawannya merupakan penyandang disabilitas Tuli.
Ia menjelaskan bahwa kebutuhan khusus tidak hanya berkaitan dengan hambatan fisik, tetapi juga mencakup kondisi yang tidak selalu terlihat, seperti aspek psikologis, emosional, intelektual, hingga sosial. “Ada yang tampak secara fisik dan mudah teridentifikasi, tetapi banyak juga kebutuhan yang baru muncul dalam proses pembelajaran. Di sinilah pentingnya guru memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk melakukan deteksi dini,” kata Tatang.
Tatang juga menyoroti keterbatasan guru yang memiliki kompetensi khusus. “Ruang kelasnya ada, fasilitasnya cukup, tetapi jumlah gurunya belum memadai. Oleh karena itu, kami terus memperkuat pelatihan agar semakin banyak guru memiliki pengetahuan dan kepercayaan diri dalam menangani anak berkebutuhan khusus,” ujarnya. Pemerintah, lanjutnya, terus berkolaborasi dengan berbagai lembaga untuk meningkatkan kualitas guru pendidikan inklusif.
Selain itu, ia menegaskan pentingnya penguatan Unit Layanan Disabilitas (ULD) di daerah agar proses identifikasi lebih cepat dan tepat. “Identifikasi dilakukan di daerah, dan semakin kuat komitmen daerah maka semakin cepat anak-anak mendapatkan layanan. Pendidikan dasar ada di kabupaten/kota, sementara SMA/SMK berada di provinsi. Semua pihak harus bergerak,” tutur Tatang.
Dalam paparannya, ia juga menyinggung tren meningkatnya homeschooling. Menurutnya, pilihan tersebut harus tetap terkoneksi dengan sistem pendidikan agar perkembangan anak dapat terpantau. Ia menegaskan bahwa penerimaan masyarakat menjadi faktor penting. “Sekolah boleh terbuka, tetapi kalau masih ada orang tua yang menolak keberadaan anak disabilitas, maka pendidikan inklusif tidak akan berjalan. Edukasi masyarakat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat sangat penting,” katanya.
Tatang menambahkan bahwa kurikulum harus lebih akomodatif, guru perlu memiliki kompetensi tambahan, dan pembiayaan layanan disabilitas di daerah harus diperkuat. Untuk pendidikan vokasi, ia menyoroti pentingnya menyiapkan keterampilan kerja bagi peserta didik di satuan pendidikan khusus. “Kami ingin lulusan SKH memiliki keterampilan profesional. Kolaborasi dengan Lembaga Sertifikasi Profesi sangat penting untuk membuka peluang kerja. Bahkan, beberapa perusahaan sudah mempekerjakan penyandang disabilitas di berbagai bidang, seperti barista, restoran, dan layanan publik lainnya,” jelasnya.

Dalam aspek teknologi, Tatang menekankan pemanfaatan platform dan perangkat pembelajaran yang ramah bagi anak disabilitas. “Teknologi seperti tablet interaktif pintar bisa membantu anak belajar lebih cepat dan tidak tertinggal. Ini harus kita pastikan tersedia,” ujarnya.
Tatang juga mengajak masyarakat, terutama orang tua, untuk lebih terbuka terhadap proses identifikasi kebutuhan khusus. “Kata kuncinya adalah deteksi sedini mungkin. Semakin awal kita bisa mengidentifikasi, semakin optimal intervensi dan perkembangan anak,” tegasnya.
Ia menyebut banyak kasus di mana orang tua baru menyadari kebutuhan anak ketika sudah memasuki jenjang sekolah lebih tinggi. “Kalau sudah terlambat, penanganannya jauh lebih sulit,” ujarnya.
Menutup paparannya, Tatang menyampaikan optimisme bahwa sistem pendidikan Indonesia semakin siap memberikan layanan layak bagi anak disabilitas. “Ada harapan besar. Undang-Undang sudah memberikan dasar yang kuat. Tugas kita memastikan implementasinya berjalan di sekolah, daerah, dan masyarakat. Pemerintah berkomitmen penuh agar semua anak Indonesia, tanpa terkecuali, mendapat kesempatan yang sama untuk tumbuh dan belajar,” ujarnya.
Senada dengan itu, Staf Khusus Menteri Bidang Pendidikan Inklusif dan Pemerataan Pendidikan Daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar, Rita Pranawati, menuturkan bahwa arah kebijakan Kemendikdasmen sejalan dengan pesan Mendikdasmen mengenai pentingnya pendidikan bermutu untuk semua. “Pak Menteri sejak awal selalu menegaskan bahwa setiap anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan, apa pun kondisinya, baik di jalur formal, nonformal, maupun informal,” ujarnya.
Rita menjelaskan bahwa peningkatan jumlah anak dengan disabilitas, baik fisik maupun mental, menuntut kesiapan pemerintah dalam aspek layanan, guru, dan fasilitas. “Dengan situasi yang terus bertambah, Kementerian sudah menetapkan beberapa arah kebijakan. Salah satunya terkait penguatan Unit Layanan Disabilitas (ULD) di pemerintah daerah, dan kami berharap ke depan setiap sekolah dapat menumbuhkan layanan serupa,” jelasnya.

Ia menekankan bahwa tantangan terbesar adalah ketersediaan guru pendidikan khusus. “Jumlah guru pendidikan luar biasa masih sedikit dan terkonsentrasi di perkotaan, sementara disabilitas ada di seluruh wilayah. Oleh karena itu, kami mendorong agar guru-guru yang sudah ada di sekolah diberikan tambahan pengalaman, pendidikan, dan pelatihan, seperti melalui program GPK yang sedang dilakukan Direktorat Jenderal GTKPG,” katanya.
Ia menambahkan bahwa media memiliki peran besar dalam membangun kesadaran sosial agar masyarakat menerima keberagaman kondisi anak. “Kalau kesadaran ini tumbuh, layanan pendidikan inklusif akan jauh lebih baik. Masyarakat juga bisa lebih menerima, karena ragam disabilitas itu banyak dan setiap anak memiliki talenta,” ujarnya.
Rita turut menyinggung adanya orang tua yang enggan memasukkan anak ke sekolah inklusif atau SLB karena takut dianggap “berbeda”. “Ada yang lebih memilih PKBM karena tidak mau anaknya dianggap memiliki sesuatu. Tidak masalah, tetapi itu menunjukkan penerimaan yang belum sepenuhnya kuat. Tugas kita memastikan penerimaan di ruang publik, masyarakat, dan layanan pendidikan terus meningkat,” katanya.
Sumber: vokasi.kemendikdasmen.go.id




