Banyuwangi, Jawa Timur — Di tangan para siswa tunarungu Sekolah Luar Biasa (SLB) PGRI Bangorejo, kain putih polos disulap menjadi karya batik penuh makna. Melalui program pembelajaran membatik yang dirancang khusus, para siswa tidak hanya belajar tentang seni dan budaya, tetapi juga menemukan cara baru untuk berkomunikasi, mengekspresikan diri, dan menunjukkan bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk berkarya.
Batik telah lama menjadi simbol kekayaan budaya Indonesia. Di Kabupaten Banyuwangi, batik memiliki ciri khas tersendiri melalui motif Gajah Oling dan Kangkung Setingkes yang merepresentasikan filosofi kehidupan masyarakat setempat. Melalui kegiatan membatik, siswa SLB PGRI Bangorejo diajak untuk memahami nilai budaya tersebut sekaligus menumbuhkan kebanggaan terhadap warisan lokal.
Kepala SLB PGRI Bangorejo menjelaskan bahwa pembelajaran membatik di sekolahnya bukan sekadar kegiatan seni, melainkan media pembelajaran yang menyeluruh.
“Kami percaya setiap anak memiliki potensi besar untuk berkreasi, meski dengan keterbatasan. Membatik membantu siswa tunarungu menyalurkan ekspresi, melatih fokus, serta mengenal budaya bangsa dengan cara yang menyenangkan,” ujarnya.
Belajar Melalui Sentuhan dan Visual
Dalam proses pembelajaran, guru menggunakan metode visual dan taktil yang disesuaikan dengan karakteristik siswa tunarungu. Mereka belajar melalui demonstrasi langsung — mengamati gerakan guru saat mencanting, merasakan tekstur kain, mencium aroma malam (lilin panas), dan melihat bagaimana motif terbentuk di atas kain. Pendekatan ini membantu siswa memahami teknik membatik secara alami, tanpa perlu bergantung pada penjelasan verbal.
Setiap goresan canting menjadi latihan konsentrasi dan koordinasi tangan-mata yang sangat berharga. Kegiatan ini juga melatih kesabaran dan ketelitian, sekaligus menumbuhkan rasa percaya diri ketika karya mereka selesai dan diapresiasi.
Manfaat dan Dampak Nyata
Program membatik di SLB PGRI Bangorejo telah memberikan dampak positif yang besar. Siswa menjadi lebih mandiri, ekspresif, dan termotivasi untuk terus belajar. Banyak dari mereka menunjukkan minat tinggi terhadap dunia seni dan kerajinan, bahkan mulai mengembangkan desain batik dengan gaya khas mereka sendiri.
Selain berdampak pada siswa, kegiatan ini juga membawa perubahan bagi sekolah dan masyarakat. SLB PGRI Bangorejo kini dikenal sebagai sekolah yang inovatif dalam mengintegrasikan budaya lokal ke dalam pendidikan inklusif. Beberapa karya batik siswa juga telah dipamerkan di berbagai kegiatan daerah, menarik perhatian masyarakat dan mematahkan stigma bahwa anak berkebutuhan khusus tidak bisa berkarya.
“Kami bangga melihat semangat anak-anak dalam belajar membatik. Ini bukan hanya tentang menghasilkan kain yang indah, tetapi juga membentuk karakter, kemandirian, dan rasa cinta terhadap budaya bangsa,” tutur salah satu guru pembimbing membatik.
Melatih Kemandirian dan Membuka Peluang Ekonomi
Selain aspek budaya, program ini juga membekali siswa dengan keterampilan praktis yang bisa menjadi bekal ekonomi di masa depan. Hasil karya batik mereka berpotensi dijual sebagai produk bernilai tinggi, baik untuk kegiatan sekolah maupun pengembangan usaha kecil. Dengan demikian, siswa tidak hanya belajar seni, tetapi juga memahami nilai kerja keras, produktivitas, dan kemandirian finansial.
Melalui program membatik ini, SLB PGRI Bangorejo menunjukkan bahwa pendidikan inklusif dapat berjalan seiring dengan pelestarian budaya. Di balik setiap lembar kain batik karya siswa tunarungu, tersimpan pesan kuat tentang kesetaraan, kreativitas, dan semangat untuk terus berkarya tanpa batas.




